[FF – KrisHan] Pure Obsession – Chapter 14

pure-obsession-cover-2

PURE OBSESSION

Storyline By KimMoon

A Kris-Luhan Fanfiction

KrisHan/FanHan/KrisLu (GS) !!!

.

.

Typos, GS!!, Drama, Romance, Smut/Kiss scene.

Bersikaplah Sopan

Dilarang keras copy paste tanpa ijin saya alias plagiat!!!

.

.

Chapter 14 : Romance In The Greenhouse

Ketiga anggota keluarga Wu tengah menikmati sarapannya bersama, yang tentu saja selalu sunyi dari suara mulut mereka. Sesekali Yongwen menatap putra bungsunya yang saat makan masih terlihat begitu dingin. Yongwen jadi teringat saat malam tadi.

.

“Apa terjadi sesuatu?” Tanya Yongwen pada putra sulungnya yang masih menatap sendu pintu ruangannya.

“Maaf ayah,” Ujar Changmin saat tersadar beberapa detik setelah ayahnya melontarkan pertanyaan.

“Kenapa kau melamun seperti itu?”

“Aku baik-baik saja. Hanya… aku akhir-akhir ini berpikir …”

Yongwen dapat membaca keragu-raguan disetiap kalimat Changmin. Dia seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Yongwen tidak suka rahasia.

“Bicara yang jelas Wu Changmin.”

“Aku hanya iri pada Yifan,” Alis Yongwen terangkat sebelah. Penasaran dengan lanjutan kalimat Changmin. “Dan aku juga rindu pada ibu.”

Yongwen memilih diam. Jika sudah menyangkut hal emosional itu, maka ia lebih baik tak berkomentar apapun. Karena hal itu sanagat sensitif bagi kedua putranya.

“Ngomong-ngomong kenapa ayah memberitahu Yifan soal keberadaan ibu?” ini dia intinya.

“Bukankah itu adalah yang dia inginkan? Ayah hanya megabulkannya.” Jawab Yongwen tanpa beban.

“Lalu apa maksud ucapan ayah tadi. Berhenti meyebut wanita ayah sebagai jalang? Dan apa hubungannya dengan ibu?” Rahang Changmin mulai mengeras. Mungkin saja ayahnya melakukan ini hanya untuk membuat Yifan tak berkata seenaknya pada ayahnya tapi dibalik itu sadarkah Yongwen jika apa yang Yongwen lakukan bisa menyakiti Yifan secara mental dan fisik?

“Ayah sedang tidak ingin untuk membahas itu.” Yongwen bangkit dari kursinya dan berlalu meninggalkan Changmin yang masih diselimuti rasa penasaran. Namun sebelum Yongwen benar-benar keluar dari ruangan, Changmin berseru setelah membalikan badannya.

“Ayah, kurasa kau harus sedikit merubah sikapmu pada Yifan.” Mata Changmin menatap tepat dimanik kelam ayahnya.

Yongwen menangkap ada yang aneh dengan putra sulungnya itu, akhir-akhir ini dia lebih sensitif jika menyangkut urusan tentang Yifan. Cepat atau lambat Yongwen akan mengetahuinya. Tanpa menjawab sepatah katapun, Yongwen berlalu begitu saja.

.

Mata Yongwen mengikuti pergerakan Yifan yang baru saja bangkit dari kursinya. Pemuda dingin itu berniat beranjak dari meja makan suram itu. Tanpa bicara sedikitpun, Yifan segera meninggalkan ayah dan kakaknya dalam keadaan sedikit terkejut, heran dan pada akhirnya kedua orang itu mengerti sikap dingin Yifan. Haruskah Yongwen berbangga hati, karena sebagian besar sifatnya menurun pada Yifan? atau dia harus merasa sedih karena tak bisa akrab dengan putra bungsunya itu? Bukan Yongwen namanya kalau tak bisa menyembunyikan segala beban hati yang dirasakannya.

Suara ponsel Changmin yang berdering menyita perhatian Yongwen, dia memperhatikan putranya yang menjawab panggilan itu.

“Ada apa Siwon?”

Yongwen tentu kenal dengan putra semata wayang Choi Seojin. Keluarga berdarah campuran Korea-China itu juga merupakan rekan bisnis keluarga Wu.

“Bailkah aku akan mampir ketempatmu setelah makan siang.” Changmin menganggukan kepala dan ia menyimpan kembali ponselnya di saku celananya.

“Sepertinya akhir-akhir ini kau sering menemui Siwon,”

“Ya, kami memang bertemu. Untuk sekedar bertemu dan mungkin membicarakan beberapa hal. Seperti self harm yang Yifan alami. Ayah tahu kan bagaimana anak lelaki?” Changmin ingin sekali mengungkapkan kalimat itu. Tapi ia merasa ini masih bukan waktu yang tepat, jujur saja ia masih takut dengan reaksi sang ayah.

“Terserah kau saja.” Tukas Yongwen, lalu segera berdiri dari kursinya. “Ayah akan bertemu klien di Hotel Hilton pagi ini. Jadi kau langsung saja urus kantor dan atur meeting dengan staff keuangan jam 2 siang. Ayah akan datang nanti.”

“Baiklah, aku mengerti.”

 

-Pure Obsession-

 

Seperti biasa Yifan berjalan menyusuri koridor sekolah dengan wajah kaku dan tanpa ekspresi serta mata tajam menusuk. Walaupun begitu, tetapi para gadis tetap mengelu-elukan namanya dan memandang damba pada sosok Yifan.

Di pandangan lurus kedepan sana, Yifan melihat tiga orang gadis yang selalu bersama Luhan. Xiumin, Likun, dan Anna tengah mengobrol didepan deretan lemari loker. Yang Yifan heran adalah dimana Luhan? apa gadis itu belum datang? Yifan bertanya-tanya dalam hatinya.

Ketiga gadis itu hanya terdiam saat Wu Yifan lewat didepan mereka. Dan Likun, dari ekor matanya mencuri pandang ke arah Yifan.

Luhan menyadari Yifan yang baru masuk ke kelas. Ia sedang membaca buku, mencoba mengusir debaran halus yang tiba-tiba datang hanya dengan melihat Wu Yifan. Berpura-pura cuek, Luhan kembali membaca bukunya.

“Kau tidak bergabung dengan si biang gossip, gadis tengil, dan gadis datar itu?”

Luhan menaikan alisnya mendengar pertanyaan Yifan, lalu Luhan menolehkan wajahnya ketempat pemuda itu yang tengah duduk.

“Maksudmu Anna, Xiumin, dan Likun?”

“Berarti kau setuju dengan julukan mereka.”

“Apa?” Luhan menengok kiri dan kanan takut jika ketiga temannya berada disana dan mendengar ucapan Yifan barusan. Dan Luhan bisa bernapas lega, karena mereka bertiga masih belum kembali ke kelas. “Aku tidak bilang begitu, Wu Yifan.” Luhan menatap tak suka pada mulut besar Yifan. sejak kapan dia memberikan nama julukan itu, bukankah itu sama saja dia yang biang gosip.

Yifan hanya menyeringai tipis mendapati reaksi Luhan. “Sekarang kemarilah,” Kata Yifan membuat Luhan mengerjap bingung. Saat Luhan melihat telunjuk Yifan yang bergerak memberi kode agar Luhan ketampatnya, barulah gadis itu dengan ragu mendekati Yifan.

“Ada apa?” Tanya Luhan dengan waspada.

Yifan menggunakan jarinya agar Luhan sedikit menunduk, dan dengan sangat ragu dan takut akhirnya ia menuruti juga perintah Yifan. Luhan sudah menunduk tepat didekat wajah Yifan.

“Ada sesuatu di wajahmu.”

“Apa?”

Semuanya terjadi begitu saja seperti sekelebatan ingatan yang datang dan pergi detik itu juga. Wu Yifan baru saja mengecup bibir cherry Luhan dengan cepat. Luhan bahkan tak mengedipkan mata seolah tak mempercayai kejadian barusan. Ia masih tetap berada pada posisinya dengan tatapan horrornya.

Wu Yifan kembali menyeringai. “Sekarang kembali ketempatmu.” Setelah mengatur wajah tanpa ekspresinya, Wu Yifan memberi gesture seolah tengah mengusir Luhan dengan telapak tangannya.

Luhan mendengus kecil, matanya menatap tak percaya pada Yifan. Lalu Luhan kembali ketempat duduknya dengan wajah kesal dan pipinya yang merona hebat.

.

.

Yifan berkali-kali mendengus kesal lantaran sudah hampir jam pulang Luhan tidak kunjung kembali ke kelas. Pasalnya, tadi Luhan dimintai tolong oleh guru biologi mereka Mei laoshi agar Luhan menaruh beberapa jenis tanaman yang dibawa oleh guru itu sebagai bahan observasi. Namun, bel sudah nyaris berbunyi, Luhan masih belum kembali.

Kemana dia?

Yifan segera meraih tasnya dan membawa milik Luhan juga. Ia menaruh tas miliknya dan milik Luhan didalam loker miliknya. Lalu ia bergegas mencari Luhan. Tebakan Yifan saat ini Luhan pasti tengah berada di rumah kaca, karena itu pemuda itu berjalan menuju kesana.

Namun, ditengah perjalanan dirinya berpapasan dengan sang mantan kekasih. Liu Yifei terlihat sedang berjalan berlawanan dengan Yifan. Yifan akui memang masih sangat canggung untuk bertemu gadis itu, dan ia masih belum melupakan rasa kecewa yang dia terima karena keputusan Yifei.

“Apa kau mencari Luhan?” Tanya Yifei saat jarak mereka hanya berjarak satu meter.

Yifan enggan menjawab, setengah malas Yifan menjawab, “Ya.”

“Kurasa aku melihatnya bersama dengan William,”

Yifan mengerutkan alis, dan ia menuntut Yifei melalui tatapan matanya seolah berkata, ‘kau jangan mempermainkanku’.

Yifei tersenyum tipis, sejujurnya ia sangat cemburu melihat reaksi Yifan yang seperti tak suka dengan apa yang barusan dia katakan. Yifei merasa cemburu karena Yifan yang terlihat cemburu. Dulu, Yifan memang mudah cemburu jika Yifei juga berinteraksi dengan beberapa siswa lelaki di sekolah walau hanya sekedar untuk membahas soal pelajaran dan tak lebih. Tapi kini, pemuda yang sempat menjadi kekasihnya itu justru cemburu untuk gadis lain. Sepenting itukah seorang Luhan untukmu?

Yifan segera berlalu dari hadapan gadis itu dan Yifei masih terpaku ditempatnya selama beberapa detik hingga akhirnya kakinya melangkah perlahan dari sana.

Yifan semakin tergesa melangkah demi membuktikan ucapan Yifei bahwa Luhan tengah bersama william saat ini. Yifan tiba didepan rumah kaca dan segera membuka pintu lalu mencari keberadaan Luhan. Dan matanya menatap nyalang saat Luhan dan William tengah berdiri memunggunginya. Dan apa itu? Yifan mendengar mereka tengah tertawa kecil bersama?

“Luhan!” Seru Yifan. Membuat dua orang disana terkejut dan seketika menoleh kebelakang. Luhan menatap Yifan dengan tatapan horror. Dia takut Yifan akan salah paham dan akan membuat onar dengan William.

Pengganggu. Desis Wiliam dalam hati sambil menatap malas sosok Yifan yang tengah menatapnya tajam.

“Yifan,” Panggil Luhan sambil menghilangkan rasa terkejutnya. Luhan menhampiri Yifan dan berkata, “William hanya membantuku untuk menaruh pot tanaman ini. Beberapa ada yang harus digantung diatas.” Luhan menatap atap transparan rumah kaca yang berhias pot tanaman yang menggantung. Tapi Yifan hanya ikut mendongak sebentar lalu kembali menatap Luhan meminta penjelasan.

Luhan memilih menundukan pandangannya karena ia merasa Yifan tak peduli dengan sejuta alasan apapun. Pemuda itu begitu membenci William.

“Luhan, sebaiknya kita pulang. Aku akan mengantarmu.”

Sialan.

“Kau sungguh memprihatinkan William,” Yifan menaikan sebelah alisnya sambil menampilkan seringainya. Itu bukan seberapa bahwa saat ini, sebenarnya Yifan ingin sekali menghajar pemuda kurang ajar itu.

Diposisinya, Luhan sebenarnya juga terkejut dengan ajakan William. Tapi itu akan semakin membuat Yifan marah dan akhirnya kedua pemuda itu akan bertengkar dan saling menghajar.

“Pulanglah sendiri.” Ujar Yifan lalu menarik Luhan agar mendekat, merangkulnya dan merekatkannya ke tubuh pemuda itu. Yang mana adegan itu sukses menyulut segala emosi William.

Luhan tak berani bersuara, sebagai ganti ia hanya menatap pada William seolah memohon untuk mengerti dan berharap William segera pergi dari sana.

“Kau benar-benar tukang memaksa,” Ujar William.

“Terserah.” Balas Yifan sambil memutar bola matanya malas.

“Luhan, menjauh darinya. ayo kita pulang.” William masih bersikeras.

“Brengsek. Tak ada yang memberimu hak untuk menjadi pengatur disini. Lebih baik kau pergi.”

“Apa?” William menatap tajam dan dia hampir mendekati Yifan tapi seruan Luhan menghentikannya.

“William, kumohon.” Luhan menggeleng sambil menatap sendu William.

Melihat Luhan yang nampak begitu memohon, membuat William harus meredam emosinya. Ingat, dia harus nampak seperti lelaki berkelas untuk gadis lemah lembut seperti Luhan. Walaupun ia merasa harga dirinya tengah jatuh akibat ucapan Yifan dan tatapan memohon Luhan. Dan jangan lupakan si brandalan Wu itu tengah tersenyum culas padanya tanpa sepengetahuan Luhan.

William berlalu begitu saja tanpa melihat mereka berdua sama sekali. Wu Yifan merasa menang. Memang Luhan adalah miliknya. Yifan tak akan membiarkan siapapun untuk mengambil miliknya lagi kali ini.

Yifan memberi jarak tubuhnya dan tubuh Luhan. Pemuda itu masih menatap marah pada Luhan. sedangkan yang diatatp tak berani membalas tatapan sang cassanova sekolah. Ia lebih memilih menundukan pandangannya.

“Tidak bisakah kau menjauhi si brengsek itu?”

Luhan menaikan wajahnya sedikit terkejut dengan pertanyaan Yifan. Mana mungkin, mana mungkin Luhan menjauhi William yang merupakan sahabatnya.

“William tidak seburuk itu, Yifan. Aku tak bisa menjauhinya.” Jawab Luhan.

“Jadi kau membelanya?”

“Jika kau menganggapnya begitu, tidak masalah.” Luhan menatap berani mata Yifan yang menyala karena emosi.

“Yifan, sebaiknya kita—“ Luhan berhenti bicara saat suara rintik yang turun dari langit mulai berjatuhan di atap rumah kaca. Luhan mendongak keatas dan hujan semakin deras.

Bagus sekarang mereka berdua terjebak di rumah kaca. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu hujan reda.

Luhan melirik Yifan yang masih menatapnya datar. Seketika Luhan sedikit merasa tak enak pada pemuda itu. Dan Luhan memilih untuk berbalik memunggungi Yifan dan berjalan ketempat tadi dimana Luhan fokus menata tanaman bersama William.

Luhan menaruh kedua telapak tangannya pada papan kayu yang memanjang dimana deretan pot dari berbagai jenis tanaman ditata rapi. Tidak ada yang Luhan lakukan selain mengamati tanaman-tanaman itu sambil menggigit bibir bawahnya karena gugup.

Mereka berdua hanya saling diam, membuat suara hujan begitu nyaring. Luhan dan Yifan masih pada posisi mereka masing-masing hingga keheningan mereka sudah terlewati selama lima belas menit.

Luhan menatap dinding kaca yang ada didepannya, basah dan berembun. Situasi ini membuatnya merasa bosan. Kapan hujan akan berhenti?

Tubuh Luhan menegang saat kedua tangan Yifan melingkar di perutnya. Pemuda itu secara mengejutkan kini tengah memeluknya dari belakang.

“Kau marah?” Tanya Yifan sambil diam-diam menghirup aroma shampo Luhan.

Luhan menggeleng pelan. Jika diingat, Yifan pasti akan bertanya seperti itu saat Luhan mendiamkannya.

“Bicaralah Luhan.” Lirih Yifan.

Darah Yifan berdesir hanya karena Luhan menangkup kedua tangannya yang masih melingkar diperut gadis itu.

Awalnya Luhan berniat untuk melepaskan tangan Yifan dari perutnya. Tapi saat membuka telapak tangan Yifan, Luhan melihat ada sedikit bekas luka yang ada di telapak tangan sebelah kiri Yifan.

Luhan tak bermaksud apapun saat jarinya mengusap bekas luka itu. Tapi itu justru membuat Yifan merasa darahnya mengalir lebih cepat.

Luhan membalikan tubuhnya hingga berhadapan dengan pemuda tinggi itu. Kedua mata mereka bertemu.

“Kapan kau mulai menyakiti dirimu?”

Yifan terdiam, baru kali ini Luhan berani menanyakan hal itu. Yifan sedikit ragu karena dia takut Luhan akan meninggalkannya jika menjawab pertanyaan itu. Tapi jika Yifan sadari, seharusnya pemuda itu dapat melihat bahwa Luhan masih bersamanya bahkan setelah dia tahu tentang penyakitnya.

“Maaf, jika kau tak ingin membicarakan hal itu.” Sesal Luhan yang melihat kediaman Yifan.

“Aku tidak terlalu ingat kapan pastinya. Tapi, saat itu aku masih duduk diawal semester tingkat pertama.”

Seperti tertusuk ribuan jarum, mata Luhan terasa memanas. Itu waktu yang cukup lama untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya. Wu Yifan menyimpan semua sakit hatinya untuk dirinya sendiri. Sendirian.

Luhan hanya diam mendengarnya. Ia terlalu terkejut dengan pemikirannya sendiri. Mungkin rasa sakit hatinya terlalu dalam hingga ia memilih untuk menyakiti fisiknya sebagai pengalihan.

“Lu, kau tidak akan meninggalkanku, kan? Kumohon jangan lakukan itu,”

Luhan menatap mata elang Yifan. Tatapan rapuh itu lagi, itu membuat Luhan luluh. Luhan tersenyum, setidaknya hanya untuk menenangkan Yifan.

“Yifan, jangan takut dan jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Aku mencintaimu, Luhan.”

Luhan menatap Yifan dengan senyuman yang masih sama tersemat dibibirnya. Itu lebih baik daripada memperburuk mood Yifan.

Yifan memperhatikan bibir tipis Luhan yang masih menampilkan senyuman indahnya. Lalu Yifan menatap mata Luhan yang juga tengah menatapnya. Senyuman Luhan perlahan memudar seraya pandangannya terkunci oleh mata elang Yifan.

Diluar sana hujan masih sangat deras, hingga rasanya hujan tak akan berhenti dalam waktu dekat.

Luhan tak berniat menghindar saat pemuda itu mendekatkan wajahnya ke Luhan dan dengan lembut menempelkan bibirnya ke bibir Luhan. Yifan semakin merapatkan tubuhnya ke Luhan bersamaan dengan lumatan lembutnya diatas bibir Luhan.

Lumatan Yifan perlahan berubah semakin menuntut. Menyesap setiap senti bibir Luhan hingga membuat Luhan membuka mulutnya dan Yifan bisa memperdalam ciumannya.

Yifan berusaha membalikan posisi mereka dan perlahan mendorong Luhan sampai pada tempat duduk kayu berbentuk persegi panjang. Yifan merebahkan tubuh Luhan diatas tempat duduk itu.

Luhan memandang atap transparan rumah kaca dimana hujan masih turun. Langit berwarna keabuan, namun nampak sangat indah. Kemudian pandangan Luhan terhalang oleh wajah tampan Wu Yifan yang menatap penuh damba padanya.

“Luhan,” Yifan menarik napas meyakinkan diri akan apa yang ingin dia katakan. Luhan menatapnya lurus menunggu lanjutan kalimat pemuda itu. “Hentikan aku kapanpun kau mau,”

Luhan mengangguk pelan, matanya masih fokus menatap Yifan. merasa telah mendapat ijin dari Luhan, Yifan langsung mencium bibir Luhan dengan penuh hasrat.

Luhan mengerang. Pikiran gadis itu berisi pertanyaan ‘apa yang terjadi pada tubuhnya?’ kenapa respon tubuhnya berbanding terbalik dengan perintah otaknya. Kenapa tadi Luhan mengangguk begitu saja. Tak ada waktu untuk menyesal, Luhan hanya perlu menikmatinya.

Selama memikirkan ‘kenapa dengan tubuhnya’ jari-jari Luhan terus meremas rambut Yifan. ciuman Yifan membawanya kedalam pusaran sensasi memabukkan.

Luhan mengatur napasnya yang terengah saat Yifan melepaskan ciumannya. Dan tak berselang lama, pemuda itu kembali melumat bibir manis Luhan yang membuatnya candu. Tangan pemuda itu tentu tak tinggal diam begitu saja. Tangan kanan Yifan menyingkap rok Luhan dan membelai paha Luhan, sementara tangan kirinya mulai menjamah payudara Luhan yang masih tertutupi oleh seragam.

Luhan mendesah saat Yifan meremas salah satu payudaranyanya. Sementara ciuman Yifan kini sudah berpindah ke leher Luhan.

Luhan merasa pikirannya mulai dikuasai hasrat, begitu menyenangkan dan dia sangat bergairah. Setiap kecupan dan sapuan lidah Yifan meninggalkan sensasi panas. Dan semua sensasi itu berkumpul dipusat tubuhnya.

Luhan tahu ini begitu menyenangkan dan rasanya ia tidak ingin berhenti, tapi akal sehatnya tiba-tiba muncul kepermukaan dan mengambil alih pikirannya.

“Yifan,” Luhan memangggil nama Yifan dengan susah payah karena menahan desahan. “Kumohon…hentikan.”

Mendengar permintaan Luhan, membuat kewarasan Yifan kembali. Pemuda itu dengan sangat tidak rela harus menarik dirinya disaat dirinya sudah siap pada tahap tertinggi pusat gairahnya. Yifan duudk dibangku itu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan demi menenangkan hasratnya yang sudah membara.

Luhan membenarkan kancing seragamnya yang terbuka. Rambut dan roknya juga tak luput ia rapihkan. Luhan menatap Yifan dengan pipinya yang merona memikirkan kemungkinan apa yang terjadi jika Luhan tak menghentikan pemuda itu.

“Hujannya sudah berhenti.”

Yifan langsung mengangkat wajahnya dan melihat sekitar yang memang benar apa kata Luhan. hujan telah berhenti.

“Sebaiknya kita segera pergi dari sini.” Pipi Luhan memanas saat Yifan menatap kearahnya.

Yifan bangkit, lalu mengulurkan tangannya pada Luhan.

Luhan menyambut tangan Yifan dan ikut berdiri.

“Yifan, sepertinya tasku masih tertinggal didalam kelas.”

“Aku menaruhnya didalm lemari lokerku.”

“Terima kasih, Yifan.”

 

-Pure Obsession-

 

Luhan tengah berada didalam kamarnya, dia terlihat tengah berjalan mondar mandir sambil memikirkan bagaimana membujuk Yifan agar mau melakukan terapi itu. Luhan menggigit ibu jarinya dan berhenti sejenak.

Bekas luka Yifan waktu itu. Dan juga punggungnya yang terluka. Yifan tidak boleh menyakiti dirinya lebih lagi.

Alih-alih memikirkan cara, Luhan justru mengingat romansa dirinya dan Yifan saat di rumah kaca beberapa hari yang lalu. Pipinya mulai memanas saat mengingat Yifan berada diatas tubuhnya. Itu pertama kalinya Luhan melakukan hal seintim itu dengan lawan jenis, walau tak sampai tahap berhubungan badan. Hanya Yifan yang berani menyentuh Luhan sejauh itu, atau Luhan yang memang terlalu menutup diri dulu saat berpacaran dengan lelaki lain.

Tunggu, mantan pacar Luhan bahkan bisa dihitung menggunakan jari. Luhan memang pendiam dan pemalu, bahkan Luhan kerap tak sadar bahwa banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Dan dari sekian lelaki yang pernah beruntung menjalin kasih dengan Luhan, gadis itu tak pernah melakukan hal lebih selain berkencan dan bergandengan tangan.

Tapi Wu Yifan muncul dan mencuri ciuman pertamanya. Bersikap dengan caranya membuat Luhan harus menuruti semua perkataannya. Membuat Luhan kadang tersesat mengartikan perasaannya sendiri. Wu Yifan dengan segala hal yang ada di dalam pemuda itu, berusaha untuk membuat Luhan jatuh cinta padanya. Memaksa Luhan mencintainya dan meminta Luhan tak meninggalkannya. Wu Yifan.

“Wu Yifan,” Tanpa sadar Luhan menggumamkan nama pemuda itu.

Luhan menutup bibirnya sendiri menggunakan tangannya. Merasa bingung kenapa menyebut nama pemuda itu. Tapi, Luhan kembali larut dalam khayalannya. Luhan mengusap lembut bibirnya. Bibir yang akhir-akhir ini sering di cium oleh Yifan. Pipinya kembali memanas, Luhan tak boleh terlalu larut dalam pikiran anehnya.

Berniat untuk keluar dari kamarnya, suara ponsel Luhan menyita perhatian dan Luhan segera menyambar benda persegi itu di atas nakas.

Wu Yifan? Kenapa dia menelepon? 

Dengan perasaan gugup yang tiba-tiba melanda, Luhan mengangkat telepon itu.

“Wu Yifan, ada apa?”

“Aku merindukanmu, karena itu aku meneleponmu.”

“Kita baru bertemu tadi disekolah, Yifan.”

“Karena itu aku merindukanmu.”

Luhan sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran pemuda itu. Terlalu berlebihankah Wu Yifan?

“Lu,” Panggil Yifan yang merasa aneh karena Luhan hanya diam tak bersuara disana.

“Aku disini, Yifan. Uhm.. Kau meneleponku hanya untuk mengatakan itu?”

“Hm?”

“Maksudku, jika tak ada hal yang penting, aku akan memu—”

“Ada sesuatu yang ingin kukatakan.” Yifan menyela ucapan Luhan saat pemuda itu dapat membaca kalimat apa yang akan Luhan katakan.

Luhan diam, menunggu apa yang ingin disampaikan Yifan.

“Apa kau serius akan datang di pesta ulang tahun William, hm?”

“Tentu saja. Dia sahabatku.”

Yifan menahan dengusan agar Luhan tak curiga betapa ia tidak suka dengan Luhan yang seolah membanggakan lelaki kurang ajar itu. Walaupun Luhan bilang hanya sahabat tapi telinga Yifan merasa tak nyaman mendengar bagaimana Luhan mengatakannya.

“Aku akan menjemputmu. Kita akan datang bersama.”

Luhan tengah berpikir. Sebenarnya ia juga akan datang sendiri dan sekarang Yifan mengajaknya. Mungkin tak ada salahnya.

“Baiklah, Yifan.”

Yifan mengulas sebuah senyum manis yang sangat sangat jarang ia tampilkan didepan umum. Dan itu semua karena Luhan.

“Kalau begitu, sampai jumpa besok disekolah.”

“Hm,” Luhan mengangguk. Luhan menunggu pemuda itu yang memutuskan sambungan terlebih dahulu. Tapi setelah beberapa saat sambungan telepon masih juga tidak terputus. Mereka hanya saling diam, menunggu lawan bicara yang memutuskan sambungan lebih dulu.

Baru Luhan akan menutup telepon tapi seruan Yifan mengurungkan niatnya.

“Lu, kau masih disana?”

“Iya.”

“Kenapa tak menutup teleponnya?”

“Aku—”

“Apa kau masih ingin bicara denganku, hm?”

Luhan membayangkan wajah Yifan yang tengah menyeringai.

“Baiklah, aku akan tutup teleponnya.”

“Aku mencintaimu, Luhan.”

Ibu jari Luhan dengan cepat menekan tombol merah sesaat setelah Yifan mengatakan itu. Luhan menghela napas, jantungnya berdebar karena alasan yang dia juga tidak tahu.

Suara ketukan pintu sedikit membuat Luhan terkejut, lalu dia mendudukan tubuhnya di sisi ranjang seraya mempersilahkan masuk orang diluar.

“Ibu,”

Zishan melangkah masuk mendekati Luhan dengan sebuah senyuman manis. Dan sepertinya Zishan membawa kabar tersendiri untuk Luhan.

Xiao Lu, kau sedang apa?” Tanya Zishan setelah ikut duduk disamping Luhan.

“Hanya duduk setelah mengobrol dengan teman ditelepon. Ada apa bu?”

“Ibu ingin memberitahumu. Kau pasti sudah bertemu dengan William. Kalian satu sekolah, bukan?”

“Dari mana ibu tahu?”

“William yang memberitahu Ibu. Beberapa hari lalu, ia menelepon ke kantor cabang kita di Guangzhou dan memberitahu semuanya. Dia anak yang baik bukan?”

Luhan memiliki firasat tentang obrolan ini. Mungkinkah ini berhubungan dengan perjodohan? Luhan sangat berharap tidak.

“Ya, William sangat baik.”

“Sepertinya dia menyukaimu, sayang.”

“Apa? Ibu, itu tidak mungkin.”

Xiao Lu, ada apa denganmu.” Zishan merasa aneh dengan reaksi Luhan.

“Aku—”

Xiao Lu, kau tidak perlu cemas. Yang ingin ibu katakan adalah minggu ini merupakan ulang tahun William. Dan kedua orang tua William mengundang kita untuk jamuan sederhana dirumahnya. Lalu setelah itu, William akan menjemputmu ketempat pestanya berlangsung.”

Bagaimana ini? Luhan sudah terlanjur setuju bahwa Yifan akan menjemputnya.

Xiao Lu, kau mau, kan? Ini demi menjaga hubungan kedua belah pihak keluarga. Ibu harap kau bersedia. Ayah dan ibu sudah berjanji akan datang bersamamu.”

“Tapi bu,”

“Kumohon sayang, minggu depan ayah dan ibu akan kembali ke Beijing. Ibu tak ingin nampak buruk karena membatalkan janji.”

Lalu bagaimana denganku?

Dengan sangat berat hati, Luhan menganggukan kepalanya.

“Terima kasih, sayang. Ibu tahu kau tak pernah mengecewakan kami.” Zishan memeluk Luhan dan mengecup keningnya.

Setelah Zishan berlalu dari kamarnya, Luhan nampak merasa bersalah. Apa yang harus dia katakan pada Yifan?
To Be Continued….. 

 

2 pemikiran pada “[FF – KrisHan] Pure Obsession – Chapter 14

  1. Sbenerny Yongwen itu baek kaga sih?? Kog aku rada gemes ya.. 😅😅

    Hujaaan.. Oh hujan
    Knpa kau berhenti dengan tidak tepat saat hasrat orang laen(?) mulai memuncak?? 😅😂
    Nyicil mulu dah adegan ny yg itu(?) 😂😂
    tiap baca itu(?) per chap itu kaya udah donlod 85% trus buffering.. 😅😂 #abaikan #maap #garing
    Luhan kumaha jug sih bilang “aku jug mencintaimu” ajah susah bgt.. Klo Bang Yipan ijin mau nyosor ajah langsung gampang ngangguk nya.. Hembt..

    Dan apah itu di kalimat terakhir??
    Ooh.. Aku tidak bisa membayangkan bang yipan ngamuk?? Atau bakal berubah jdi Hulk?? 😅😂
    Itu ngapain jug Ibuny Luhan 😑😑

    Jdi nunggu² next chap nya.. Pasti bakalan seru 😍😍

    Hwaiting Faat.. 💪💪
    Semangaat 😍😘

    Disukai oleh 1 orang

  2. Yongwen baik sih cuma dia belum sadar kalo anaknya punya self harm 😅

    Ah, waktu itu gue pengen aja bikin adegan romantis di greenhouse gue bayanginnya aja so sweet bgt 😂😍😍😍 iri gue asli -_-

    Sabar ya, kan Luhan masih ragu ceritanya 😂😂😂

    Ah gue lupa jalan cerita next chapnya lagi 😂 pokoknya tunggu aja jey hehe thx for your review jey 😘

    Suka

Tinggalkan komentar